Selasa, 10 Januari 2012

Telaah Ulang Konsep Ulil Amri Untuk Penataan Kehidupan Umat

Tiar Anwar Bachtiar

Persoalan penetapan awal hari raya selalu menjadi fenomena yang menegangkan setiap tahunnya, termasuk pada tahun ini. Apalagi apabila secara perhitungan hisab ada kemungkinan berbeda. Padahal, kesepakatan dalam penentuan hari raya sebetulnya membahagiakan sebagian besar umat Islam. Mereka dapat berkumpul bersama keluarga dan sanak-kerabat dalam kebersamaan dan tanpa saling curiga karena berbeda hari raya. Saat hari raya ditentukan berbeda banyak suami-istri yang berbeda latar belakang ormas menjadi tidak nikmat dan tidak terlalu bahagia menghadapi hari raya karena tidak sepakat menentukan hari mana yang akan dipilih untuk berhari raya. Pasalnya, dua ormas yang berbeda itu menentukan hari raya berbeda. Ini sungguh bukan fenomena yang patut dipelihara. Justru sebaliknya, harus dicarikan solusi mengingat sebenarnya masih sangat mungkin ditempuh jalan keluar dalam masalah-masalah ijtihadiyah semacam ini.
Kaidah al-khurûj minal-khilâf mustahab (keluar dari ikhtilaf adalah dianjurkan) merupakan salah satu kaidah fiqhiyyah yang disepakati hampir oleh semua ulama mujtahid dan dianggap sebagai salah satu kaidah kulliyyah (universal). Artinya, sepanjang masih ada titik-titik singgung yang bisa dipersatukan di antara umat, jangan menyengaja atau mencoba-coba ingin berbeda dengan umat lain. Sikap ingin dan asal beda justru bertentangan dengan prinsip kaidah ini. Oleh sebab itu, dalam masalah ijthadiyah semacam ini harus terus dipikirkan modus terbaik untuk keluar dari khilâf yang pasti akan terus menerus terjadi karena metode penetapan yang berbeda.
Mencari modus untuk menyatukan hari raya ini sangat penting mengingat masalah hari raya lebih banyak berdimensi publik daripada dimensi individual. Ibadah ritual dalam setiap hari raya hanya dilakasanakan tidak lebih dari satu jam, yaitu menyelenggarakan shalat ‘id. Namun, dimensi sosial dari hari raya ini sunggung sangat luas. Kumandang takbir yang disunatkan untuk dipublikasikan, show up shalat ‘id di lapangan, kesibukan ekonomi mendadak setiap hari raya, tradisi “mudik” yang begitu kolosal dan spektakuler setiap menjelang Idul Fithri, hilir mudik orang meramaikan suasana hari raya, dan kesibukan sosial lainnya memperlihatkan secara telanjang hubungan hari raya dengan urusan-urusan publik yang lebih besar.
Persoalannya, di mana titik temu mungkin didapat mengingat sampai saat ini metodologi dalam penetapan hilâl berbeda-beda. Kalau masih belum seragam, sampai kapanpun, ketika posisi hilâl tidak terlalu tinggi, akan terus terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan kapan awal bulan baru dimulai. Memang, memaksakan agar setiap kelompok menggunakan metode yang sama dalam menentukan bulan baru bukan sesuatu yang memungkinkan. Masing-masing memiliki alasan dan dalil yang dianggap paling sahih sehingga sulit untuk memaksa mereka memilih satu metode tertentu. Dalam dalam konteks ini sesungguhnya ada kaidah fiqhiyyah lain yang dapat dijadikan jembatan, yaitu kaidah Kullu mâ hakama bihi al-qâdhî al-‘adl min madzhabin man ra’âhu shawâban mimmâ ikhtalafa al-nâs fîhi fahuwa nâfidz (Setiap perkara yang diputuskan oleh seorang hakim yang adil berdasarkan pendapat satu madzhab yang dianggap olehnya benar atas masalah yang dipersepisihkan oleh orang-orang, maka keputusan itu dapat dilekasanakan).,  
Kaidah di atas mengisyaratkan salah satu cara untuk menyelesaikan khilâf, yaitu dengan menyerahkannya pada pihak yang berwenang (qâdhi atau hakim yang adil). Ini merupakan salah satu bagian dari siyâsah syar‘iyyah untuk menghindari potensi-potensi konflik di tengah umat dan meminimalisasi terjadinya fragmentasi akibat perbedaan pendapat di tengah umat. Cara ini dapat lebih memungkinkan umat didorong untuk terus dapat berkomitmen memgang persatuan (al-wihdah). Sebab, kalau khilâf dipelihara justru berpotensi untuk memecah-belah umat dan menimbulkan perasaan al-wihdah al-islâmiyyah dalam diri setiap umat Muslim hilang.
Tambahan lagi, dalam kasus penentuan awal bulan baru ini tidak ada aturan yang memestikan setiap ormas menentukan sendiri hari rayanya. Justru dalam berbagai kasus di zaman Rasulullah, yang memerintahkan untuk buka atau mulai puasa adalah Rasulullah Saw. sebagai amir kaum Muslimin. Baik para pemimpin kaum Muhajirin atau Anshar, masing-masing tidak diperkenankan untuk menentukan sendiri kapan mereka harus berbuka atau berhari raya sementara mereka berada di bawah kepemimpinan Rasulullah Saw. Oleh sebab itu, semestinya semua ormas harus lebih ‘legowo’ untuk menyerahkan keputusan kapan hari raya dilaksanakan kepada amir, dalam hal ini pemerintah atau lembaga yang merpresentasikan amir seperti MUI atau yang lainnya. Dan di seluruh dunia, sepertinya hanya di Indonesia masing-masing ormas menentukan sendiri hari rayanya. Oleh sebab itu, sudah saatnya untuk masalah-masalah publik seperti penentuan hari raya ini diserahkan saja kepada pemerintabh sebagai ulil-amri kaum Muslim. Sepanjang metodologi penetapannya masih sesuai dalil dan kaidah syara‘, apapun yang diputuskan pemerintah harus diterima semua masyarakat dan semua ormas tanpa kecuali. Ini menjadi bagian dari siyasah syar‘iyyah yang penting demi kemaslahatan umat.

Pemerintah Sekuler Ulil-Amri?
Dalam kasus ini, kita melihat pemerintah yang ada sebagai ulil amri (pihak yang diserahi urusan) bagi kaum Muslimin. Ketaatan pun harus diberikan kalau memang pemerintah dapat dianggap sebagai ulil amri sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surat Al-Nisâ’ ayat 59:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Ada sebagian pihak yang menerima ayat ini sebagai sebuah keharusan, namun mempertanyakan apakah pemerintah yang ada sekarang adalah ulil amri minkum mengingat prinsip-prinsip yang dijankan dalam pemerintahan banyak yang mengabaikan syari’at. Bahkan tegas-tegas negara ini menyatakan diri sebagai negara non-agama. Dasar yang dipegangnya pun Pancasila, bukan Islam. Oleh sebab itu, negara dan para penyelenggara negara ini tidak termasuk dalam kategori minkum sehingga tidak perlu mendapatkan ketaatan dari kaum Muslimin.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam masalah ini. Pertama, kita harus mendudukkan dulu makna “ulil amri” secara tepat. Uli adalah bentuk jamak dari kata waliy yang artinya “pemilik” atau “yang mengurus dan menguasai”. Sedangkan al-amr artinya “perintah” atau “urusan”. Bila dirangkai, secara bahasa, makna ulil amri adalah orang-orang yang berwenang mengurus suatu urusan. Ketika dikaitkan dengan kata minkum yang artinya dari kalian, urusan yang diurus adalah urasan “kalian” (kaum Muslimin); dan yang mengurus adalah mereka yang “menjadi bagian dari kaum Muslimin”. Secara teknis, mereka “yang menjadi bagian” dari kaum Muslimin adalah siapa saja yang kaum Muslimin secara sukarela menyerahkan urusan mereka kepadanya.
Menurut Al-Sa‘di dalam Taisîr Karîm Al-Rahman fi Tafsîr Kalâm Al-Mannân dan juga diperkuat oleh Musthafa Al-Maraghi dalam tafsirnya, “urusan” yang diserahkan oleh kaum Muslimin ini adalah urusan selain masalah-masalah akidah, ibadah, dan urusan-urusan keagamaan murni yang jelas rujukannya dalam Al-Quran dan Al-Hadis. Kata al-amr dalam bentuk ma‘rifah (difinite; atau terbatas). Ini mengandung isyarat bahwa hanya urusan-urusan tertentu saja yang boleh diserahkan kepada ulil-amri, bukan semua urusan. Dalam hal ini, menurut para mufassir urusan yang boleh diserahkan adalah urusan-urusan kemasyarakatan yang ada kaitannya dengan kemaslahatan bersama.
Lantas, dalam konteks kehidupan bernegara di Indonesia saat ini, apakah pemerintah yang saat ini berkuasa layak disebut ulil-amri? Jawaban atas pertanyaan berpulang pada kita sebagai masyarakat Muslim. Apakah kita secara sadar turut meligitimasi kewenangan pemerintah untuk mengatur berbagai urusan kita, kaum Muslim? Kalau jawabannya “ya”, karena kita juga ikut pemilu, ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang mengabsahkan keberadaan pemerintah, maka sebenarnya kita telah menunjuk pemerintah yang ada ini sebagai ulil-amri kita. Saat kita telah ikut meligitimasinya, maka mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita harus memberikan ketaatan pada mereka sebagai bagian dari ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya.
  Kedua, kata ulil-amri disebutkan dalam bentuk jamak. Ini mengandung arti bahwa sangat dimungkinkan ada banyak pihak yang mengatur urusan kaum Muslimin, baik dalam bentuk kelembagaan maupunn individu. Al-Maraghi (Tasîr Al-Marâghi Jil.II hal. 72) menyebutkan bahwa ulil-amri itu bisa jadi pemerintah (umara’), hakim, ulama, panglima tentara, dan pemimpin dan jenis kepemimpinan lain yang ditunjuk oleh umat untuk mengurus urusan mereka demi mewujudkan kemaslahatan. Dengan demikian, jelas bahwa bukan hanya pemerintah (eksekutif dan perangkat pendukungnya) yang dapat dikategorikan sebagai ulil-amri. Siapapun yang kaum Muslim secara suka rela menyerahkan satu urusannya kepada mereka, wajib ditaati.
  Sebagai contoh ulama. Di mana dan bagaimana ulama dapat menjadi ulil-amri bagi kaum Muslim, padahal tidak memiliki jabatan struktural tertentu dalam hirarki kepemimpinan kaum Muslimin? Ulama adalah orang yang memiliki kelebihan ilmu dibandingkan dengan kaum Muslim yang lain. Inilah poin yang membuat mereka layak disebut sebagai ulil-amri. Kaum Muslim banyak yang dalam berbagai hal tidak mengetahui ilmunya. Kalau tidak tahu ilmunya, tentu tidak bisa seenaknya kaum Muslim menentukan sendiri suatu hal. Kalau itu dilakukan, maka akan tersebar kesesatan dan kekacaun karena orang-orang jahil mengeluarkan fatwa atas sesuatu yang sama sekali tidak diketahuinya. Satu-satunya cara adalah menyerahkan urusan itu pada ahlinya, dalam hal ilmu adalah para ulama. Pada saat itu kaum Muslim telah “menyerahkan urusannya” kepada ulama. Itu berarti ulama telah ditunjuk sebagai “ulil-amri” kaum Muslim dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu. Dengan demikian kaum Muslim wajib taat dan mengikuti apa yang difatwakannya sebagai kosekwensi kerelaannya menyerahkan urusan pada ulama ini.
Para ulama ini ditaati dalam urusan yang kaum Muslim tentukan, yaitu dalam masalah ilmu. Dalam masalah lain yang kewenangannya tidak diserahkan kaum Muslim kpada mereka, tidak perlu ada ketaatan. Misalnya, kaum Muslim tidak memberikan ketaatan dalam urusan lalu-lintas kepada ulama. Sebab, yang diserahi mengatur urusan lalu lintas bukan ulama, melainkan polisi. Ketaatan harus diberikan kepada pihak yang diserahi amanat mengurus urusannya, dalam hal ini polisi dengan segala perangkat aturannya.
Contoh lain, dalam sistem kemasyarakatan kita, dikenal juga adanya organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas), baik yang ada kaitannya dengan masalah-masalah keagamaan maupun yang lainnya. Dalam konteks keagamaan, ormas-ormas Islam hampir seluruhnya merupakan organisasi-organisasi dakwah. Yang dilakukan dan tercantum dalam konstitusi organisasi-organisasi tersebut adalah pekerjaan-pekerjaan dakwah. Misalnya Persis dan Muhammadiyah. Keduanya menyatakan diri sebagai organisasi massa Islam yang bergerak dalam bidang dakwah, menegakkan amar ma‘ruf dan nahyi munkar, terutama kepada orang-orang yang secara suka rela menjadi anggotanya.
Apakah ormas-ormas seperti ini juga merupakan ulil-amri bagi kaum Muslim? Bagi kaum Muslim, ada kewajiban dakwah yang sifatnya fardî (individual) yang tidak bisa diwakilkan kepada siapapun berdasarkan perintah Allah Swt.,
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Nahl [16]:125)
Selain itu, ada juga kewajiban dakwah yang harus dilakukan secara kolektif (jama‘i) melibatkan individu yang lain sebagaimana diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali ‘Imrân [3]: 104).
Dakwah seperti ini mau tidak mau harus diserahkan kepada sekolompok orang yang lebih layak dan pantas untuk menjalankannya. Uamt Islam, seluruh atau sebagiannya, harus menyerahkan urusan pekerjaan ini kepada ahli di bidang ini. Di sinilah letak peran organisasi-organisasi dakwah Islam sebagai ulil-amri bagi kaum Muslimin. Hanya saja, karena umat yang menyerahkan amanah sebagian-sebagian, maka tanggung jawab ormas itupun terbatas kepada orang-orang yang menyerahkan amanah saja. Dalam hal ini anggota atau siapa saja (sekalipun bukan anggota) yang secara suka rela mau mengikuti organisasi dakwah tersebut.
Siapa saja yang telah mengikrarkan diri untuk menyerahkan amanah dakwah kepada suatu organisasi dakwah, maka pada saat yang sama ia berkewajiban taat dalam pengaturan dakwah yang dilakukan oleh organisasi tersebut. Misalnya, dalam pengaturan dakwah di bidang penyelenggaraan pendidikan diatur berbagai hal agar jaringa dakwah pendidikan tertata rapi dan lebih maslahat bagi umat. Siapa saja anggota yang terkena oleh aturan-aturan ini wajib menaatinya sebagai bagian dari ketaatannya pada Allah Swt. Atau saat organisasi mengatur kualitas tabligh melalui perbagai program pembinaan muballigh, pengaturan kurikulum tabligh, pengaturan jadwal muballigh, dan semisalnya; itupun harus ditaati oleh semua anggota. Orang yang diserahi menjadi pengurus organisasi dakwah ini adalah ulil-amri bagi semua anggota dan simpatisan organisasi ini. Sebab, secara langusng maupun tidak mereka telah menyerahkan amanat pelaksanaan dakwah jama‘i kepada para pengurus organisasi itu.
Kalau pada kenyataannya ulil-amri ini bisa banyak, lantas bagaimana bila terjadi beda pendapat antar ulil-amri? Siapakah yang mesti dijadikan rujukan? Dalam hal ini, pertama, harus diberlakukan konsep yang hirarkis dalam memposisikan ulil-amri. Harus dilihat posisi-posisi ulil-amri ini secara hirarkis dalam sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Misalnya, kelompok umat Islam yang menerima untuk menyebut diri sebagai “ormas” adalah subsistem dari organisasi negara secara keseluruhan. Posisinya lebih rendah dari pemerintah. Sebab, pemerintahlah yang memiliki kewenangan mengatur keberadaan ormas-ormas ini melalui berbagai produk perundang-undangan. Dalam kasus yang hanya melibatkan kepentingan ormas itu sendiri atau orang-orang yang terlibat dalam ormas itu secara intern, posisi ormas yang merupakan ulil-amri bagi anggotanya dapat lebih didengar daripada yang lain. Namun, dalam hal yang menyangkut urusan yang lebih luas, yang melibatkan orang-orang di luar ormas itu, posisi organisasi negara (pemerintah) lebih berwenang, termasuk dalam masalah-masalah penentuan hari raya.
Kedua, prinsip “kemaslahatan publik” (al-maslahah al-‘âmmah) harus diperhatikan. Sistem hirarki yang ditetapkan di atas hanya berlaku di atas kaidah tasharruf al-râ’î alâ al-râ‘iyah manûth bi al-mashlahah(tindakan pemimpin terhadap rakyatnya dituntun oleh prinsip kemaslahatan umum). Artinya, pendapat yang harus paling didengar adalah yang paling maslahat untuk masyarakat. Sepanjang jelas maslahatnya bagi umat seperti dalam kasus hari raya, maka di situlah orang-orang yang berwenang (otoritatif) harus paling ditaati oleh umat.

Ketaatan Kritis pada Ulil-Amri
Ketaatan kepada ulil-amri adalah bagian dari ibadah. Perintahnya jelas dan tegas langusng dikatakan oleh Allah sendiri di dalam Al-Quran. Namun, ketaatan kepada ulil-amri ini tidak mutlak seperti ketaatan pada Allah dan Rasul-nya. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya tidak ada kekecualiaan. Apa saja yang datang dari Allah dan Rasul-Nya mutlak harus diikuti. Akan tetapi, taat kepada ulil-amri ada batasnya.
Batas ketaatan kepada ulil-amri ini dijelaskan oleh rasulullah Saw. dalam hadisnya sebagai berikut.
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَ الطَّاعَةُ فِيْمَا اَحَبَّ وَ كَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَلاَ سَمْعَ وَ لاَ طَاعَةَ
Bagi seorang Muslim diwajibkan mendengar dan taat (pada pemimpin), baik pada hal yang disenanginya ataupun tidak, kecuali ia diperintah untuk bermaksiat. Jika ia diperintah untuk bermaksiat, maka tidak mendengar dan taat. (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).
Jelas bahwa ketaatan kepada ulil-amri adalah sejauh para pemimpin itu tidak memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan aturan-aturan Allah Swt. atau memerintahkan melakukan kemaksiatan. Ketaatan dalam kemaksiatan sama saja melanggar keharusan taat pada Allah Swt. yang sifatnya mutlak. Terhadap pemimpin yang bermaksiat atau memerintahkan kemaksiatan pada Allah Swt., kewajiban kaum Muslim adalah meluruskan dan memberikan nasihat pada mereka dengan cara yang ma‘ruf. Rasulullah Saw. bersabda:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: للهِ وَ لِكِتَابِهِ وَ لِرَسُوْلِهِ وَ ِلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَ عَامَّتِهِمْ
Agama itu nasihat. Kami (para sahabat) bertanya, “Bagi siapa?” Rasul menjawab, “Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, bagi para pemimpin kaum Muslim, dan seluruh kaum Muslim.” (HR Muslim dan lainnya dari Tamim Al-Dari).

Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa pemerintah yang ada sekarang di Indonesia ini, karena secara de facto sebagian besar dari mereka adalah juga bagian dari umat Islam dan umat Islam secara suka rela telah mau berada di bawah pemerintahan mereka, maka pemerintah ini layak dianggap sebagai ulil-amri kaum Muslimin di Indonesia. Oleh sebab itu, dalam kasus-kasus tertentu yang memang menjadi kewenangan pemerintah dan dapat lebih memberikan kemaslahatan umum, apa yang diputuskan oleh pemerintah selayaknya dipatuhi oleh semua umat Islam. Bahkan, posisi pemerintah ini dapat pula dijadikan rujukan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa fikih-ijtihadi menyangkut urusan publik yang lebih luas yang tidak dicapai kata sepakat di antara kelompok-kelompok umat Islam. Keputusan yang diambil pemerintah ini layak pula untuk dijadikan rujukan dan ditaati oleh semua pihak.
Namun jelas ketaatan pada pemerintah ini  bukan ketaatan membabi-buta tanpa kritik. Sikap kritis sebagai bagian yang inheren dari ajaran Rasulullah pada umatnya harus terus dipegang oleh publik (baca: umat Islam). Umat Islam harus tetap dapat melihat mana yang salah dan mana yang benar. Umat Islam harus tahu mana yang masih berada dalam rel ajara Islam dan mana yang sudah menyimpang. Urusan-urusan yang diputuskan pemerintah yang jelas-jelas menentang syari‘at dan melanggar akidah harus ditolak. Lebih jauh lagi, umat Islam harus mempu meluruskannya hingga kembali ke jalan yang benar. Di dinilah berlaku amar ma‘ruf dan nahyi munkar. Kalau prinsip-prinsip ini dipegang dalam kehidupan bermasyarakat kita, Insya Allah kehidupan umat akan lebih tertata rapi. Wallahu A‘lamu bi Al-Shawwab.

1 comments:

untuk saat ini pemimpin harus benar-benar memahami konsep ulil amri , sebaiknya adakajian atau buku yang menyajikan tulisan pemimpin atau kepala atau orang yang bertanggung jawab terhadap satu kelompok atau negara yang ditinjau dari konsep ulil amri

Posting Komentar